Cerpen Ayah

Rintik hujan membasahi bumi. Seolah mengerti betapa kalutnya aku. Dengan angin yang menusuk kalbu. Yang temani hari itu. Indah memang bila ku lihat masa lalu. Masa dimana aku masih melihat senyummu. Senyummu yang membuatku bahagia. Bahagia yang sangat teramat bahagia. Tapi waktu terus berputar. Dan tak dapat berhenti dan ku hentikan. Kini senyummu perlahan memudar. Berubah menjadi kecemasan bagiku.
Ya begitulah sebuah bait puisi yang ku buat saat hujan kemarin. Aku senang menulis puisi, memang puisiku sangat biasa dan sesederhana itu, tapi menurutku dari pada rasa ini terpendam dalam hati aku memilih menulisnya menjadi puisi yang pasti menurutku sendiri semua puisi buatanku bagus. Akhir-akhir ini, aku merasa sedih karena Ayah sakit. Entah obat apa yang mampu menyembuhkannya. Andai aku bisa mencabutnya, pasti aku akan mencabut sekuat tenaga aku tanam aku siram terus aku injek-injek sampai hancur lebur supaya tak ada lagi yang sakit gara-gara penyakit itu.
Jujur aku sendiri sangat bangga dengan semangat Ayah, bagaimana tidak? dokter telah memvonis Ayah tidak akan sembuh walaupun obat habis sebakul dan uang habis serumah tapi Ayah masih bersemangat melihatku untuk bahagia. Ayah masih ingin makan walaupun harus menangis sekuat mungkin agar rongga mulut terbuka dan saat itu aku hanya bisa lari ke kamar dan menangis, aku selalu mencoba untuk tidak menangis di hadapannya. Ayah betapa sabarnya engkau menghadapi kemelut hidup ini.
Setiap hari Ayah selalu ditemai oleh Ibu, Ibu sangat sayang pada Ayah, Ibu selalu ingin bersama Ayah walaupun Ibu super sibuk tapi Ibu selalu mengontrol Ayah tiap jam. Sebenarnya aku juga ingin menemani Ayah tapi aku harus sekolah. Hari-hariku terasa begini-begini saja, malah aku sering mengeluarkan air mata, tapi aku sangat bersyukur karena di saat seperti ini teman-temanku selalu berada di sampingku dan menghiburku. Terima kasih teman atas hadirmu.
Setiap pulang sekolah Ayah selalu menanyai bagaimana keadaanku di sekolah, aku justru terharu mendengarnya karena Ayah malah menanyaiku yang keadaan jasmaniku baik-baik saja, seharusnya aku yang bertanya bagaimana keadaannya. Memang Ayah sangat sayang dan care padaku. Ada satu hal yang selalu membuatku menangis bila mengingat kata-kata itu.
“Bu, udah Ayah gak usah kemo, Ayah sehat kok ibu lihat ini,” mencoba berdiri tegak dengan sempoyongan. “Bu lebih baik uang itu kita tabung disimpan buat kuliah Kakak. Ayah akan lebih bahagia kalau Kakak bahagia. Ayah gak apa-apa Bu.” ketika itu Ibu dan Aku hanya bisa menangis dan tidak bisa lagi menyembunyikan air mata ini. Dan saat itu pula aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku pasti bisa membuat Ayah dan Ibu bahagia.
Seiring dengan berjalannya waktu Allah memberikan Anugerah terhebat untuk kami, lambat laun Ayah membaik, ya walaupun benjolan itu masih ada. Kini Ayah bisa tersenyum ceria lagi, bisa menjadi Ayah yang tidak penah nangis, Ayah terlihat bahagia. Di setiap sujudku tiada henti aku bersyukur atas apa yang Allah swt berikan padaku dan aku selalu berdoa agar penyakit itu benar-benar hilang dan sembuh total.
Ayah. Darimu ku temukan semangat. Semangat untuk menggapai kebahagiaan Ayah. Darimu aku belajar. Belajar bagaiman sulitnya bersabar. Ayah, Darimu ku tahu. Betapa sulitnya menahan air mata. Ayah. Darimu aku yakin. Bahwa Allah sangat sayang pada kita. Ayah. Sembuhlah, sembuh. Aku sayang Ayah