Cerpen Kupu Kupu Kertas
10/30/2015Dengan bahagia Farel menunjukkan kupu-kupu kertas buatannya kepada Shafa, teman bermainnya.
“Tapi lebih bagus punyaku loh, Kak.. lihat nih. Indah sekali..” kata Shafa yang tak mau kalah. Karena Farel gemas dengan Shafa, mereka pun kejar-kejaran hingga Ibu Shafa melarang mereka untuk berlarian.
Farel dan Shafa adalah sehabat kecil yang senantiasa ceria. Meskipun begitu, Farel sudah tak punya keluarga. Bukan karena keluarganya yang sengaja menelantarkannya. Dan yang ia punya sekarang hanya Mama angkatnya.
“Farel, Shafa, jangan lari-larian. Nanti jatuh, nangis lagi..”
“Iya deh, Tante. Maafin Farel ya?” ucap lelaki kecil berumur 10 tahun itu dengan wajah melas.
“Nggak apa-apa kok Farel sayang. Nanti kalau Farel kecapean bagaimana?”
“Ya sudah, Kak Farel, main di dalam rumah aja yuk..” ajak Shafa.
“Aah, Kak Farel mau pulang aja deh…”
“Yaahh, Kakak ngambek ya? Ayo dong, Kak..” pinta gadis kecil itu.
“Farel, masuk aja yuk..” Ajak Mama Farel.
“Tapi jangan lari-larian lagi ya?”
“Iya, Shafa janji..” Tersenyum dan menyodorkan kelingkingnya ke wajah Farel. Farel pun merangkul kelingking Shafa dengan kelingkingnya tanda perjanjian.
“Bagaimana kalau kita buat origami, nanti kita gantung origami-origami itu di jendela kamar kita?” Farel usul.
“Wah, boleh itu, Kak Yuk…”
Di Kamar.
“Kalau udah gede, Shafa pengen jadi apa?” tanya Farel seraya memainkan jari-jarinya, menyulap kertas origami.
“Shafa kalau gede, ingin jadi arsitek, Kak.”
“Aah, beneran?”
“Iya, kalau Kak Farel pengen jadi apa?”
“Kak Farel pengen jadi Dokter, biar bisa mengobati Shafa kalau Shafa sakit. Hehe.”
“Kalau Shafa jadi arsitek, Shafa akan buat istana yang indah untuk Kak Farel.”
Beberapa bulan setelah kebahagiaan itu, Shafa sedih ketika menanti Farel yang tidak kunjung datang ke rumahnya. Ketika terdengar ketukan pintu, ia pun merasa sumringah.
“Ma, itu Kak Farel kan, Ma? Berarti Shafa bisa main lagi dong, Ma?”
“Sebentar, sayang. Ada yang ingin Mama bicarakan dengan Mamanya Kak Farel. Shafa tunggu di kamar dulu, ya?” kata Mama seraya mengelus-elus rambut lembut gadis itu. Shafa pun menuruti apa yang dikatakan Mamanya.
“Memangnya, ada hal penting apa, Bu?” tanya Mama Shafa memulai perbincangan.
“Anda tahu kan Bahwa Papa, Mama, serta Kakak-Kakaknya Farel itu meninggal karena positif terkena HIV?”
“Iya, apa jangan-jangan, Farel jugaa….”
“Iya, Bu. Farel positif HIV. Itu kami ketahui setelah melakukan tes selama 3 sampai 6 bulan ini. Itu pun diperkuat dengan demamnya yang tidak kunjung turun dan terjadi infeksi. Kata dokter yang dulu pernah merawat keluarga Farel. Aku kasihan karena Shafa tidak ada teman bermain sekarang..”
“Soal teman itu tidak penting, Bu. Yang penting itu sekarang bagaimana mendampingi Farel. Aku pernah mendengar, penderita HIV anak-anak, itu bisa bertahan hidup selama 8, 12, 15 bahkan 20 tahun. Jadi masa depan Farel masih bisa diraih.”
“Tapi, di usia remaja, ia harus…” Mama Farel tidak berani meneruskan perkataannya. Mama Shafa hanya mengangguk, dengan berat hati.
“Maa, Kak Farel kenapa? Kak Farel sakit, ya, Ma? Kok Mama nggak ngasih tahu Shafa sih. Tante juga. Kenapa Shafa nggak dikasih tahu?” Gadis kecil itu mulai nampak bersedih. Tapi, Mama juga tidak ingin putrinya bersedih.
“Nggak, sayang. Kak Farel cuma nggak enak badan. Lusa juga pasti baikan kok. Shafa jangan sedih ya?”
“Berarti, Shafa main sendirian dong, Ma? Shafa kangen sama Kak Farel.” Lagi-lagi Shafa ingin membuat gerimis di matanya.
“Doakan Kak Farel saja ya, sayang? Semoga cepat sembuh dan bisa main lagi sama Shafa.” Sambung Mama Farel.
“Shafa kan jadi sedih.”
“Shafa jangan nangis, kalau Shafa sedih, Kak Farel juga nanti ikut sedih loh. Jangan nangis ya, Shafa?” Mama Farel tersenyum di tengah kegundahan dan kesedihan hatinya.
Meskipun Mama Farel hanya Mama angkat, tetapi kasih sayangnya sangat besar dan tulus kepada Farel. Karena, Mama Farel tahu, pengidap HIV bukan untuk didiskriminasikan. Tetapi, untuk disayang dan terus memberi support kepada Farel.
“Ma, hari ini kita jadi jenguk Kak Farel di rumah sakit kan?” pinta gadis kecil itu seraya menarik-narik baju Mamanya.
“Shafa kangen sama Kak Farel? Hehe..”
“Kok Mama malah ketawa. Jadi kan, Ma. Ya, jadi ya, Ma…” senyum Shafa dengan penuh harap.
“Iya, deh, jadi. Shafa mandi dong, biar nanti ke rumahnya Kak Farel nggak kesiangan.”
“Siap, Ma!!”
Sesampainya di rumah Farel.
“Kak Farel!! Shafa datang, Kak!” teriak Shafa.
“Eh, Shafa. Kak Farel ada di kamar. Yuk, masuk..”
Shafa terkejut melihat sosok Farel.
“Kak Farel… Kok jadi kurus begini?” Wajah Shafa seketika berubah.
“Kakak kan lagi sakit, Shafa. Shafa nggak boleh sedih ya?” jelas Farel.
“Kakak pasti nggak mau makan kan? Tante, kalau Kak Farel nggak mau makan, dijewer aja ya, Tan?”
“Apa Shafa aja yang dijewer? Hhehe.” Goda Farel.
“Jangan, Kak. Oh, iya. Ini ada bingkisan dari Shafa dan Mama. Kakak cepat sembuh ya? Biar bisa main lagi sama Shafa… Oke.” Mengerlingkan mata dan menyodorkan kelingkingnya ke wajah Farel. Farel pun merangkul kelingking Shafa dengan kelingkingnya tanda perjanjian.
“Makasih banget ya, Fa. Oh, iya. Kemarin waktu Kakak masih di rumah sakit, Kakak punya puisi buat adek.” Menyerahkan sebuah kertas yang telah disulap dengan jari kecilnya menjadi sebuah kupu-kupu.
Di antara gedung putih
Terbesit sebuah suara kerinduanku
Adikku
Tetaplah berbakti pada Sang Kuasa
Dalam setiap napas dan doaku,
Aku yakin,
Sebuah pertemuan di antara kita itu pasti ada
Meski kita tak dipertemukan selamanya
Adikku,
Tetaplah menjadi adikku
Pertemuan itu pasti ada,
Meskipun terbentang samudra,
Suara rinduku
Semoga kan selalu terngiang
Ku persembahkan,
Hanya untuk adikku
“Wwh, adek suka puisinya, Kak.” Tersenyum penuh kegirangan.
“Adek suka? Berarti puisi Kakak bagus dong, Dek.?”
“Umm… Iya deh, biar Kakak senang. Kalau Kak Farel senang kan Shafa jadi ikut senang.”
“Shafa, ayo pulang..” suara Mama Shafa yang baru masuk kamar.
“Tapi, Ma…”
“Kapan-kapan ke sini lagi, Kak Farel kan butuh istirahat.” Bujuk Mama.
“Iya deh. Kak Farel baik-baik ya? Makannya dijaga. Hhehe.”
“Oke, Shafa…” tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Shafa.
—
Delapan tahun kemudian.
“Shafa…” terdengar suara dari depan pintu.
“Iya, sebentar…”
“Kak Farel datang, Dek..”
“Kak Fareel!! Shafa kangen banget sama Kakak tahu! Selama ini kemana aja sih!”
“Eeh, jangan ngambek dong, Dek. Kak Farel punya hadiah buat Dek Shafa yang sudah lama menanti. Ini…” kata Farel seraya menyerahkan sebuah kotak berwarna Ungu.
“Ini apa?” masih dengan nada bicara yang kesal, Shafa menerima kotak itu.
“Dibuka dong, Dek..”
“Wah, coklat Hello Kitty. Terima kasih, ya, Kak..” tersenyum kegirangan melihat isi kotak itu.
“Shafa suka kan? Berarti Shafa nggak marah sama Kak Farel. Hehe..”
“Shafa! Siapa?!” terdengar suara Mama dari dalam rumah.
“Kak Farel, Ma… Yuk, Kak, masuk..”
“Rumah Shafa nggak berubah ya? Masih seperti dulu.” Komentar Farel.
“Iyalah, Kak. Shafa kan ingin kenangan kita yang terlukis indah di sini nggak luntur. Hhehe…”
“Eh, bisa aja deh.”
“Oh, iya. Kakak sekarang kuliah di mana?”
“Nggak jauh-jauh banget dari kota ini.”
“Di mana, Kak?”
“Aah, si Shafa kepo banget deh. Hehe. Masih ingin jadi arsitek?”
“Masih dong, Kak. Sekarang aku juga lagi belajar bidang arsitektur. Kalau Kak Farel sendiri?”
“Kakak sih sekarang di bidang komunikasi.”
“Katanya dulu ingin jadi Dokter… Hayooo..” goda Shafa.
“Itu kan dulu, Dek. Hehe.”
Canda mereka pun sudah mulai menghangat. Seperti menuliskan kembali cerita yang telah habis dibaca.
Meski ku tak tahu lagi
Engkau ada di mana
Dengarkan aku
Ku merindukanmu
Saat aku mencoba merubah segalanya
Saat aku meratapi kekalahanku
Aku ingin engkau selalu ada
Aku ingin engkau aku kenang
Lagu dari D’Massiv itu seakan membawa Shafa kembali ke masa lalu. Kerinduan yang mendalam kepada Farel semakin membuat ia sedih. Hatinya semakin ingin bersua. Kerinduan pada seseorang yang pernah membuat ia meloncat-loncat di atas bumi ini.
“Kak Farel nggak akan pernah kembali!” Shafa marah dan menangis ketika mencurahkan isi hatinya di buku biru itu.
“Shafa, kamu kenapa?” tanya Mama yang tiba-tiba datang karena mendengar sesuatu dari kamar Shafa.
“Kak Farel nggak akan pernah kembali kan, Ma?!”
“Sayang, nggak boleh bicara seperti itu. Tenang saja. Kak Farel pasti kembali.” Ucap Mama menenangkan buah hatinya itu.
“Tapi, Ma. Sejak pertemuan itu, Kak Farel dan Mamanya nggak pernah menghubungi Shafa lagi.”
Mama kehabisan kata-kata. Tak mungkin dia harus memberitahukan penyakit Farel yang sebenarnya. Karena pasti Shafa akan sedih jika harus tahu sekarang.
Dan di rumah sakit, Farel sedang berjuang untuk sembuh karena kanker Sarcoma Kaposi yang semakin hari menggerogoti tubuhnya. Ya, semua karena virus AIDS yang telah menyebar di seluruh tubuhnya.
“Ma, Farel sedih.”
“Sedih kenapa, Farel?”
“Farel sedih karena harus meninggalkan Mama, Shafa dan semuanya.”
“Sayang, jangan bicara seperti itu. Mama sayang sama Farel.” Mama pun mulai meneteskan air mata karena tak dapat membendung kesedihannya.
“Tapi, Ma. Umur Farel juga nggak akan lama kan?”
Mama terdiam, bingung harus berkata apa untuk tetap men-support anaknya itu. Hening.
“Ma, Farel kangen sama Shafa…” suara lirih itu memecah keheningan.
“Farel ingin bertemu Shafa?” ucap Mama seraya mengusap air mata.
“Iya, sebelum Farel pergi…”
Di lorong rumah sakit
“Ma, sebenarnya kita mau jenguk siapa sih?”
“Nanti Shafa juga tahu kok.”
“Iih, Mama. Bikin Shafa penasaran aja deh.”
Mama hanya tersenyum.
“Kak Fareeel!!!” Tangis pun pecah saat Shafa bertemu dengan Farel.
“Kakak kenapa nggak pernah cerita sama Shafa, Kak!”
“Kak Farel hanya tidak ingin Shafa sedih.”
“Tapi, tidak bertemu Kak Farel itu membuat Shafa lebih sedih.”
“Sekarang Shafa nggak perlu sedih, kan ada Kak Farel di sini. Jangan nangis lagi ya, Dek?” mengusap air mata yang membasahi pipi Shafa.
“Kakak… Aku sayang sama Kakak, Shafa nggak ingin kehilangan Kakak. Kak Farel ingat kan? Waktu kecil dulu, aku ingin buatkan istana untuk Kakak. Jadi Kakak jangan pergi dulu.” Berusaha tersenyum, namun Shafa tak dapat membendung air mata, teringat flashback indah ketika kanak-kanak dulu.
“Kakak tunggu istananya di surga ya? Buatkan yang indah untuk Kakak. Sekarang, Shafa harus berjuang untuk menjadi arsitek yang handal. Biar Kak Farel berjuang melawan penyakit Kakak. Dek Shafa nggak boleh sedih kalau Kak Farel kalah. Tapi, Kak Farel akan tersenyum bahagia di surga, ketika melihat Shafa sukses. Jadi, saat kepergian Kak Farel, Shafa nggak boleh sedih. Oke…” tersenyum dan menyodorkan kelingkingnya ke wajah Shafa. Tapi Shafa menolak.
“Kak Farel nggak boleh pergi sekarang. Kak Farel nggak mau lihat istana buatan Shafa?” tangis Shafa semakin menjadi-jadi.
“Kak Farel tentu ingin melihat istana buatan Shafa, tapi Kakak hanya bisa melihat dari atas sana, Shafa. Shafa jangan sedih. Baik-baik di sini Shafa. Adikku tersayang, Adikku yang paling manja. Adikku yang selalu memberikan semangat Kakak untuk tetap bernafas. Adikku yang selalu memberikan keceriaan pada Kak Farel. Kakak sayang Sha..ffaaa….”
“Kak Fareellll!! Jangan pergi, Kak… Kakak harus banguuun… Kak Farel nggak boleh pergi. Shafa sayang Kak Farel!!” tubuh Shafa lemas tak berdaya, melihat Farel yang telah pergi untuk selamanya. Tapi, Shafa yakin. Kak Farel akan bahagia di surga ketika ia melihat adiknya sukses.
Kupu-kupu kertas ini… Akan selalu menjadi sejarah kita. Akan selalu menjadi kenangan, Yang terpatri dalam sanubariku. Pelangi cintamu. Warnai awan putih dalam hatiku. Kau ramaikan hariku dengan warna-warna tingkahmu. Dikala jauh, Kau berikan warna abu-abu. Dikala dekat, Kau berikan warna merah jambu dalam hatiku.
Keindahan cintamu memberikan keriduan tersendiri. Rindu. Rindu. Rindu. Yang menggebu.
Jadilah bintang hatiku,
Yang senantiasa menerangiku di surga.
0 komentar: