Cerpen Cinta Biru

Hujan, masa kecil dan cinta pertama. Tiga hal yang tak mungkin mudah untuk dilupakan. Terutama cinta pertama. Apa kalian mengerti apa itu cinta pertama? Cinta pertama belum tentu pacar pertama kalian. Jika kalian menganggap pacar pertama kalian adalah cinta pertama itu sangatlah jarang terjadi. Sama halnya denganku.
11 juni 2012, saat itu aku masih kelas 7. Ya. Sekolah Menengah pertama. Masa-masa remaja akan segera dimulai. Umurku saja masih 12 tahun. Puber? aku belum saatnya. Tapi aku kagum sama seorang anak laki-laki yang sangat pintar di sekolah.
Kelas 8. Rasa kagum berlanjut hingga akhirnya aku dan dia duduk di satu kelas yang sama. Di umurku yang ke-13 ini aku ngerasa benar-benar menyukainya. Suka? Entahlah, tapi benarkah itu rasa suka? Aku masih saja terpaku dengan apa yang terjadi padaku saat itu. Pacaran dengannya. Tapi suatu ketika..
“Benarkah kita bersaudara? Itu tidak mungkin Ren.” Ucapku yang masih saja tak percaya.
“gue juga berpikir seperti itu Ra. Ini sulit untuk gue percaya.” Balas Rendy.
Aku terpaku dengan semua kenyataan ini. Percaya tidak percaya, aku pacaran sama saudaraku sendiri. Bahkan setelah mengetahui semuanya. Aku dan Rendy seperti paman dan bibi kita. Mereka -Paman dan Bibi- juga sempat seperti aku dan Rendy, hanya saja mereka lebih dewasa saat itu, dan hubungan mereka pun berlangsung cukup lama hingga lulus sekolah. Yaa.. walaupun sekarang mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing.
“Haha.. baiklah. Kita akhiri.” Tawaku mengakhiri semuanya. Banyak hari memang yang ku lalui dengan Rendy. Susah senang sampai cerita mencengangkan dari keluarga kami membuat ini menjadi kisah yang sangat menarik.
“Hei.. Ra, Rara!!”
“Heii juga Sya, lo ngapain manggil gue? Kangen yee?” Ucapku pada seorang gadis bernama Lesya yang memanggilku tadi.
“Jalan yuk.. gue yang bayar deh.” Kata Lesya.
Tanpa pikir panjang, ku jawab ajakan Lesya dengan anggukan yang mantap. Setidaknya gue bisa meluapkan rasa bosanku sama soal-soal tryout ujian itu.
“lo tahu nggak Ra, gue ngajak lo ke sini buat apa?” Tanyanya.
“Buat jalan lah. Emang mau ngapain coba?” Bola mata cokelat beningku ini menatap suatu kejanggalan di sini.
“lo lihat nanti.” Ucap Lesya meyakinkan.
Kacamata minusku masih saja menempel. Cokelat panas yang dipesan Lesya untukku tinggal setengah gelas. Dengan sebuah komik di tangan kiriku, aku masih saja dapat mendengar celotehan-celotehan Lesya tentangku.
“Ra, lo itu cantik tahu. Kenapa harus pake kacamata? Lagian mata indah lo itu nggak pantes ditempelin kacamata sebesar itu. Kelas 8 aja lo nggak pake kok sekarang pake sih?” Ucap Lesya panjang lebar.
“Huftt, mata gue minus 1 Sya.” Balasku singkat yang berhasil membuat Lesya mengangguk.
“gue punya ide, lo tunggu sebentar.”
Kepergian Lesya membuatku bingung, apa yang akan dia rusak kali ini? Setelah beberapa waktu lalu saat ia membelikanku sebuah kaset kartun Jepang kesukaanku, ku kira ceritanya akan lucu. Tapi apa yang ia beli tak seperti yang ku bayangkan. Kartun itu sangatlah dewasa. Aiihh.. kalian tahu kartun School Days? jangan harap aku ataupun kalian akan melihatnya sampai akhir. Beberapa menit berlalu…
“Ra.. ini buat lo. Besok ke sekolah pake ini.” Katanya setelah duduk. Ia memberikanku sebuah soft lens dengan warna cokelat yang berhasil membuatku melongo.
“lo gila sya? Mana boleh ke sekolah pake soft lens?” Kataku.
“ehh… makanya dari itu gue beliin yang sama persis sama warna mata lo. Bagus kan?” Ucapnya dengan alasan yang menurutku tepat.
“Itu Ra, lihat cowok-cowok itu!”
“Mereka anak satu sekolah kita, emang kenapa?” Tanyaku lagi.
“lo kenal mereka Ra?”
“Itu Erwin, Leo, dan yang satu gue gak kenal. Hehe..” Jelasku singkat pada Lesya. Sepertinya ia tertarik pada salah satu dari mereka. Eh… tapi siapa yang di deket kak Leo?
“Senyumnya manis Sya” Gumamku lirih. Entah Lesya mendengarnya atau tidak.
“Kak Leo!!” panggilku pada kak Leo. Kak Leo adalah teman satu kelasku, dan juga sepupuku.
“Ehh.. Ra. ngapain di sini?” tanya kak Leo.
“gue kak yang ngajak jalan Rara.” Jawab Lesya. Tak ku sangka Lesya seformal ini sama orang. Ah.. dia suka sama Kak Leo. Jadi ajakan jalannya itu ini maksudnya. Ketemu sama Kak Leo.
Lesya ngajak gabung Kak Leo dan temen-temennya untuk makan bareng. Ini memang baru jam 7 malem, jadi kita berlima sama-sama makan malem di sini. Suasana memang begitu rame, karena Lesya masih saja nyerocos tanya sama Kak Leo tentang pelajaran. Yang aku kira Lesya udah ngerti jawabannya. Acara makan pun selesai.
“lo suka baca komik?” tanya cowok yang aku sama sekali nggak ngerti namanya.
“Sepupu gue emang kayak gitu Ndre. Gegara komik ini dia jadi pake tuh kacamata kuda. Hahaha.” Kata Kak Leo yang berhasil menerbangkan komik yang ku baca ini ke mukanya yang tampan.
“Kak Leo kok gitu sih? Ini bukan kacamata kuda tahu.” Cetusku sambil mengerucutkan bibirku kesal. Ndre.. Apakah Andre namanya? Pikirku entah melayang ke mana sekarang. Cowok manis ini namanya Andre.
“Rara besok nggak kan pake kacamata kudanya kok kak. Dia bakalan cantik lagi besok kayak dulu.” Kata Lesya yang berhasil membuat semua terdiam.
“gue inget, dulu lo emang cantik banget Ra.” Kata Erwin dengan senyum gummynya yang khas.

Hari ini hari dimana aku, Rara Sekai merasa was-was dengan hilangnya kacamataku dari wajah cuteku ini -sedikit narsis emang. Entah apa kata guru-guru dan anak satu kelas nanti. Jika kata Lesya benar ini bukan masalah, setidaknya aku bisa lepas dari sumpah serapah guru BK yang galak itu.
“WOW… lo CANTIK RA!!!” Teriak anak satu kelas serempak.
Mereka sedang memujiku atau apa? Kalimatnya sih bagus, tapi lihat wajah mereka, bagaikan ikan yang sedang digoreng, mangap.
“Hehehe, makasih” Ucapku sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
Empat Jam pelajaran matematika membuatku lapar. Ku putuskan mengajak Kak Leo untuk ke kantin sekolah. Kalian anggap mungkin aku hanya punya temen Kak Leo sama Lesya, tapi sebenarnya tidak. Aku punya banyak teman, tapi tak sedekat mereka.
“Bakso dua sama es jeruk dua mbak.” Pesanku seperti biasa jika bersama Leo.
“Raaa.. lo inget kan yang namanya Andre waktu itu?” Tanya Leo padaku.
“Hmmm.. inget kak. Kenapa?” Tanyaku balik.
“Kenapa lo nggak kenalan sama dia? Dia punya banyak komik edisi terbaru. Setidaknya lo bisa pinjem sama dia.” Kata Kak Leo yang berhasil membuatku kagum pada sosok bernama Andre. Demi komik aku akan melakukan apapun itu. Hahaha.
Ku tanya anak kelas berapa Andre itu, sekolah di mana pada Kak Leo. Ternyata dia cuma berjarak 3 kelas dari kelasku. Ku kira Andre itu beda sekolah denganku. Ternyata aku saja yang terlalu kudet. Maklumlah, aku hanya ke luar kelas kalau ke kantin, toilet, perpustakaan sama pulang aja.
“Ra.. gue mau ngomong sama lo” Ucap Andre.
“Mau ngomong apa Ndre?” Suasana jadi hening, entah ini perasaanku saja atau memang suasananya yang sepi. Jantungku serasa dikejar-kejar depkolektor.
“Hmm… gue, gue mau tanya.” Ucapnya lagi.
“Iya, tanya apa?” Kataku.
“lo.. lo punya komik edisi baru gak? hehe”