Cerpen Duda Dua Versi
10/30/2015“Mu.. ada yang mau aku sampaikan.” Anwar memulai pembicaraan.
“Apa tuh?” Ummu menjawab sambil membuka kaos kakinya.
Aku, Juli, Kamaruz, Egi dan Ridwan mulai menyimak.
“Tadi bu kepala sekolah memanggilku, katanya di antara kalian yang perempuan ini, ada gak yang mau jadi Adik iparnya? Kau bilang kau mau menikah kalau ada yang cocok calonnya.”
“Hmm.. aku harus jawab apa?”
“Jangan tanya dulu harus jawab apa Mu, tanya dulu dia seperti apa orangnya.” Juli mulai ikut dalam pembicaraan.
“Iya Mu.. menikah itu bukan satu hubungan yang bisa dijalani sesuka kita.” Aku mulai ikut-ikutan.
“Kalau aku gampang-gampang aja, yang penting dia baik.” Ummu seolah pasrah dengan nasib.
“Kau yakin? Kalau dia duda gimana?” Juli mulai membahas ke arah yang lebih spesifik.
Sambil menepuk pundak Anwar, Kamaruz meminta agar menceritakan apa yang diperbincangkan dengan Ibu kepala sekolah tadi. Anwar menuruti.
“Begini.. tadi aku masih ngisi materi di kelasku, Ibu kepala lewat dan memanggilku supaya jam istirahat menemuiku di ruangannya. Jam istirahat aku pun langsung menemuinya, Ibu kepala pun cerita. Dia punya Adik kandung laki-laki sedang mencari jodoh, statusnya duda punya anak satu, perempuan. Istrinya meninggal. Riwayat pernikahannya, anak pertama mereka meninggal setelah dilahirkan. Lalu, pada kelahiran anak kedua mereka ini terulang lagi masalah ketika kelahiran pertama. Akhirnya, yang terselamatkan adalah anak, istrinya yang meninggal. Mertuanya meminta kalau anaknya mereka yang urus sebagai ganti anaknya yang telah wafat. Sekarang Adik Ibu kepala telah menyerahkan masalah jodohnya dengan ibu, dia tidak mau kecewa lagi atas pilihannya. Begitu..”
Pembicaraan mulai memanas. Semua berkomentar dan saling adu argumen dengan teman yang saling berdekatan.
“Kalau urusan wafat ya gak kuasa kita dong,” aku mulai memberi pendapat.
“Kalau bisa juga, ya cari yang single ajalah Mu,” Kamaruz memberi saran.
“Eeehh.. jangan salah ya, Bapakku juga duda kok, tapi sayang sama emakku. Gak mau marah, lemah lembut, apalagi sama aku. Duda lebih berpengalaman.” Egi mulai angkat bicara dengan gaya bicara pesinden.
“Tapi gak semua duda seperti Bapakmu Gi,” Ridwan meledek sambil tersenyum.
“Apa salahnya dengan duda, kalau emang baik. Sekarang kan tergantung kesiapan mental si Ummu, dia mau terima abang itu gak?” Juli menambahi.
“Menurutku, dengan mendengar penjelasan status duda si abang menjadi duda karena cerai mati itu lebih aman loh. Gak akan ada sangkut paut lagi dengan mantan istri, keluarganya pun sudah tidak bisa campur tangan urusan rumah tangga kita. Apalagi anaknya sudah diurus oleh pihak mantan istri. Aku punya teman yang menikah dengan duda cerai hidup, mantan istrinya itu suka ganggu kehidupan temanku itu. Alasan mau jenguk anak, mau ngajak anak main, pulang kemalaman akhirnya numpang menginap. Menggoda-goda mantan suaminya yang kadang menjadi pemicu mereka bertengkar. Semakin dia sering menggoda dan minta rujuk setelah tahu kehidupan sang mantan mulai membaik secara ekonomi. Kau sendiri gimana Jul dengan pak kades yang duda itu?” ku senggol bahu si Juli yang sedang asyik main hp.
Juli juga sedang menjalani hubungan tanpa status dengan seorang kades di kampung sebelah. Konon ceritanya, pak Kades bercerai karena istrinya dulu tukang selingkuh. Menyalah-nyalahkan pak Kades karena terlalu sibuk dengan urusan desa. Sekarang malah mengejar balik, lelaki yang dulu menjadi selingkuhannya telah kabur bersama wanita lain. Juli juga gerah dengan wanita itu yang kadang suka meneror Juli lewat telepon atau sms.
“Iya juga, pengalaman..” Juli tersenyum sambil mengedipkan mata.
Ummu dan Anwar dari tadi seperti sedang bermain bola, pandangan mereka bergantian memandangi kami yang sedari dari mengeluarkan pendapat. Egi senyum-senyum, Kamaruz pasang muka sewot sedang Ridwan paling suka dengan hp layar sentuhnya, berkelana dengan sosial media.
“Jadi gimana Mu?” Anwar menanya kepastian.
“Kasihlah aku waktu, biar kami berdiskusi lagi sesama perempuan,” Ummu menjawab polos.
Aku menarik napas panjang, sedang mulutku siap berkomentar lagi. Egi menyenggolku, seolah tahu kalau aku bakal berkicau ria.
“Kalau emang cocok atau enggaknya ya kasih tahu.”
“Iya. Tenang ajalah.”
“Eeiittt!! Tunggu. Ada yang aneh ya? Kenapa coba harus si Ummu yang kau tembak langsung urusan perjodohan ini?” Kamaruz seolah tersadar.
“Ya iyalah.. kalau Egi udah pacar di kampungnya, Juli udah punya pacar pak Kades, kalau Marwaaaa…” Ridwan memandangku.
Secara serempak mereka semua menjawab, “Marwa kan pacarnya Anwar.” Lalu kami semua tertawa.
“Ayo bubar, kita makan atau salat dulu?” tanyaku menghentikan tawa canda mereka.
“Salat dulu aja lah, panas sekalian mau mandi dan ganti baju.” Ridwan menjawab.
Lalu kami bubar, masing-masing masuk kamar. Kaum adam menuju kos yang ada di seberang jalan, kami masuk kamar, ada yang langsung salat ada juga yang merebahkan badan di kasur ala kadarnya.
0 komentar: