Cerpen Rahman

Rahman, namanya singkat dan tak ada kepanjangannya. Setiap kali dia disuruh untuk menulis nama panjangnya, dia diam saja untuk beberapa saat, lalu kemudian berkata, “Aku tak tahu nama panjangku.” Oleh karena itu, dia pun tak pernah menulis nama lengkapnya. Entah kenapa Rahman selalu mencoba untuk mengingat kembali ke masa lalunya untuk mengingat namanya.
Dia merasa namanya bukan hanya Rahman, tapi ada lagi yang lain, yang terlupa. Dia tak bisa bertanya pada keluarganya yang sudah lama tak ia temui, kalau tak bisa dibilang ia tak punya keluarga. Ada yang bilang dia adalah anak yang dibuang karena dia lahir sebelum Bapak dan Ibunya resmi menikah. Gosip beterbangan ke sana-sini tentang dirinya. ‘Anak buangan’, ‘anak kasihan’, ‘anak yang menderita’, ‘anak yang terlupakan’, itu semua nama-nama yang dulu akrab ia dengar dari orang-orang untuk menyebut dirinya. Tapi dia tak peduli, karena dia punya nama yang lebih menarik dari sekedar sebutan yang mengisyaratkan kepedihan itu. Namanya Rahman, tapi dia tak tahu nama lengkapnya.
“Mungkin namamu ya cuma Rahman saja kali Man, tak ada embel-embel lain di belakangnya.” Joko, teman baiknya selalu berkata seperti itu untuk membuat dirinya berhenti mencari-cari nama lengkapnya. “Lagian ngapain juga kamu memikirkan hal yang sepele seperti itu, nggak perlu lah Man kamu repot-repot memikirkannya. Yang harus kita pikirkan itu gimana caranya biar bisa hidup enak kayak anggota DPR dan bupati-bupati itu. Pasti enak sekali kalau hidup kita penuh dengan uang ya! Ahahaha!”
Dia hanya tersenyum menanggapi apa yang Joko ucapkan. Sudah kenal betul dia dengan wataknya yang mata duitan dan selalu bermimpi ingin jadi kaya. Nasib yang mempertemukan mereka di atap yang sama. Ya, mereka berdua tinggal di panti asuhan. Sama-sama tak punya keluarga dan tempat untuk tinggal di luar sana. Oleh karena itu Rahman benar-benar merasa bersyukur, Pak Andi mau menampungnya.
“Justru saya yang bersyukur, karena ada kamu saya bisa dekat dengan Rasulullah nanti di surga, hahaha!” Begitu kata Pak Andi ketika Rahman mengucapkan terima kasihnya. Lelaki yang sudah mulai menua itu tampak seperti seorang Ayah bagi Rahman, dan mungkin bagi teman-temannya yang lain pula, seperti Joko. Wataknya yang ramah dan sering kali bercerita tentang kekonyolan membuat Rahman dan teman-teman yang lain menyenanginya. Dia tahu, dengan adanya anak-anak di panti asuhan ini, membuat Pak Andi memiliki beban dan tanggung jawab untuk menghidupi mereka. Mungkin karena hal itulah, ketika bersama dengan anak-anak asuhnya, dia selalu bercanda, mencari kesenangan di tengah kesibukannya mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan hidup mereka.
Di sekolah, Rahman dikenal sebagai anak yang pintar. Maklum, kemampuan otaknya memang melebihi teman-temannya yang lain. Para guru menyukai kecerdasan dan sikapnya yang penuh penghormatan terhadap orang yang lebih tua. Teman-temannya pun banyak yang menyukainya walaupun ada pula yang iri dengannya. Entah kenapa, Rahman merasa tak nyaman dengan sikap guru-guru yang selalu memujinya di depan teman-temannya. Kalau ada anak yang tak bisa mengerjakan soal, pasti guru yang mengajar berkata, “Kamu ini seharusnya mencontoh Rahman tuh! Dia pintar dan bisa menyelesaikan soal seperti ini!” Dia tak enak hati mendengar apa yang diucapkan oleh para guru.
Oleh karena itu, diam-diam Rahman selalu berbicara dengan teman-temannya. Dia selalu memberikan semangat kepada mereka agar tak patah semangat dan agar teman-temannya tidak menjadikan dirinya sebagai sosok yang harus ditiru oleh mereka.
“Kita semua memiliki potensi yang berbeda teman-teman. Mungkin aku pandai dalam mata pelajaran matematika, tapi aku tak begitu bisa memasak dan menggambar. Tapi lihatlah Anita, dia begitu pandai ketika disuruh menggambar dan masakannya pun sangat enak! Percayalah padaku, aku sudah pernah mencicipnya dulu ketika kita berkemah! Siapa tahu nanti dia bisa menjadi koki yang handal bukan?” Setelah selesai memberikan semangat seperti itu, pasti teman-temannya akan berteriak.
“Setuju!” sementara Rahman akan tersenyum melihat tingkah teman-temannya. Walaupun dia adalah anak dari panti asuhan, teman-temannya tak memandangnya demikian. Rahman ya Rahman, mungkin begitu yang mereka pikirkan.
Hanya saja, masalah nama ini begitu mengganggu Rahman. Setiap malam hari, sebelum tidur dia pasti selalu memikirkan namanya. Apakah nama ini pemberian Pak Andi? Kalau begitu kenapa aku tak mengingat kapan pertama kali dia berbicara tentang namaku ini? Atau jangan-jangan sebelum ke panti asuhan ini aku sudah pernah diasuh oleh orang lain lalu orang tersebut memberikanku nama ini? Apakah aku berasal dari daerah di sekitar sini ataukah aku lahir di tempat lain yang jauh dari sini? Apakah aku lahir dari pasangan yang bersuku Jawa ataukah Betawi ataukah yang lain? Dari mana sebenarnya aku ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini selalu menghantuinya. Malam ini pun, juga demikian.
“Joko, menurutmu Ibuku seperti apa?” tanyanya pada Joko, yang tidur satu kamar dengannya.
“Heem? Entah Man, mungkin Ibumu itu orangnya jenius. Lha anaknya saja jadi idola guru-guru di sekolahan, hahaha.” Joko, walaupun sudah agak mengantuk, dia masih memiliki kesadaran untuk menjawab pertanyaan dari temannya itu.
“Haha, begitukah? Kalau begitu Ayahku bagaimana?”
“Heem, menurutku dia lelaki yang tak bisa diandalkan. Buktinya dia sampai nggak mau bertanggung jawab atas kelahiranmu kan? Yah, Ayahku pun sama juga sih, hehehe.”
“Apa menurutmu kita ini melakukan kesalahan sampai orangtua kita tega membuang kita Jok?”
“Aduh, pertanyaanmu berat-berat Man. Aku mana mau berpikir sedalam itu. Bagiku aku tidak dIbuang di bantaran kali sudah untung Man. Kasihan aku sama anak-anak yang baru lahir itu sudah dibuang di kali, bahkan ada pula yang dibunuh. Bagiku sudah hidup sampai sekarang saja sudah alhamdulillah Man.”
“Iya Jok, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, apa kamu tak ingin tahu dari mana asalmu? Siapa dirimu?”
“Loh? Asalku ya dari Indonesia toh. Siapa aku? Aduh Man, aku ya aku kan Man, Joko? Memangnya aku siapa lagi?”
“Haha, ya sudah Jok. Besok saja ku jawab, tampaknya kau sudah ngantuk dan sudah nggak bisa mikir lagi, hahaha.”
“Wah wah, enak saja kau ngomong begitu, hahaha. Eh, apa karena kau ingin tahu siapa dirimu itu kau ingin mencari tahu nama lengkapmu? Memangnya kenapa sih Man kau ini begitu ingin tahu nama lengkapmu?”
“Hmm, kurang lebih begitulah Jok. Haha, kalau ku jelaskan memangnya kau bisa paham apa? Semua ini tentang identitas Jok, tentang jati diriku. Gimana, mau diteruskan nggak ini? Hahaha.”
“Wah wah, sepertinya pembicaraan ini sudah bukan levelku lagi Man. Ya sudah, aku tidur saja Man, ngantuk berat nih aku.”
“Oke Jok, tidur sana.”
Selang beberapa saat, suara dengkuran dari Joko yang sudah tidur mulai terdengar oleh Rahman. Sebenarnya suara dengkuran Joko itu tak begitu keras, namun di tengah malam yang sunyi ini suara selirih apapun bisa didengar oleh Rahman. Suara jarum jam yang bergerak. “tik, tik, tik,” menemaninya di malam ini, seperti malam-malam yang lainnya. Dia masih terjaga, memikirkan tentang namanya.
Tapi sesaat kemudian, dia mulai merasakan kantuk. Lalu tak berapa lama kemudian, dia memutuskan untuk tidur. Dia memejamkan matanya, lalu berdoa. Sekalipun dia mungkin tak akan tahu nama lengkapnya, bahkan ada atau tidaknya pun juga belum pasti, tapi Rahman yakin, dirinya adalah dirinya sendiri. Dia bisa menjadi orang yang dia inginkan dan ketika dia sudah dewasa nanti dia berharap tidak hanya namanya yang ia ketahui, tapi juga tentang dirinya. Tentang siapa dirinya, dan kehidupannya.